Phone Number

+62 251 8323344

Gerhana Dalam Dimensi Islam

By Admin 27 Mei 2021, 11:07:52 WIB 0 Comments

Gerhana Dalam Dimensi Islam

Sebagai umat Islam yang baik, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara menyikapi ketika terjadi peristiwa gerhana, baik matahari dan bulan. Tentu saja moment semacam ini tidak seharusnya menjadi ajang bersenang-senang ria karena sedang asyik melakukan observasi terhadap gerhana, tanpa dibarengi dengan perwujudan ibadah, semisal shalat gerhana. Dalam kajian historis, pada zaman Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah terjadi gehana matahari yang diriwayatkan dalam beberapa hadits shahih. Hanya saja hadits-hadits tersebut tidak merinci waktu terjadinya gerhana. Hal ini dimungkinkan sebab Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam lebih menekankan pada aspek tuntunan ibadah yang perlu dilaksanakan ketika terjadi gerhana.

Pada sisi lain, diriwayatkan bahwa putra Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam yang bernama Ibrahim (ibunya bernama Maria al-Qibtiya) meninggal saat usianya masih belia, dan saat tersebut tengah terjadi gerhana matahari. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia lahir pada bulan Dzulhijah tahun 8 Hijriah, namun dalam riwayat-riwayat itu terdapat perbedaan pendapat mengenai usia ketika Ibrahim meninggal. Ada yang mengatakan 16 bulan, 18 bulan, dan ada juga yang mengatakan satu tahun 10 bulan atau 22 bulan. Demikian pula hari dan bulan kelahirannya terjadi perbedaan pendapat. Di antara hadits yang berkaitan dengan gerhana dan kematian serta usia Ibrahim putra Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah: Pertama: "(Diriwayatkan) dari al-Mughirah bin Syu’bah ra., ia berkata: terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wa Sallam pada hari meninggalnya Ibrahim (putra Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam). Orang-orang berkata bahwa gerhana itu terjadi karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan tidak menjadi gerhana karena mati dan hidupnya seseorang, jika kalian mengalaminya maka berdoalah kepada Allah dan kerjakanlah shalat hingga selesai gerhana” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua: “Dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata: Ibrahim putra Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam meninggal ketika dia berusia 16 bulan, maka Nabi bersabda: "makamkanlah ia di pemakaman al-Baqi’, ia akan mendapatkan ibu susu yang akan menyempurnakan susuannya di surga” Atas kematian Ibrahim ini, Rasulullah pun mengeluarkan sabda sebagai ekspresi kesedihan beliau, yakni: “Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak berkata kecuali yang diridhai Tuhanku. Sungguh, kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim” (HR. Bukhari, 1990: 1303).

Dari hadits di atas menepis keyakinan atas berbagai mitos yang berkembang di kalangan masyarakat. Secara manusiawi Rasulullah mengalami kesedihan atas meninggal putranya tersebut, namun tidak lantas mengait-ngaitkan kejadian gerhana, baik matahari maupun bulan dengan hal-hal yang bersifat mitologis, akan tetapi beliau menunjukkan kepada umat manusia bahwa fenomena tersebut adalah termasuk tanda-tanda keesaan dan keagunan Allah Salallahu 'Alaihi Wa Sallam yang harus dihayati dengan penuh keimanan. Itulah aqidah yang harus dibangun dalam diri setiap muslim, agar tidak terjerumus dalam ketidakbenaran dalam berakidah. Kemudian, berdasarkan hadits yang pertama di atas, menimbulkan pertanyaan apakah shalat yang dikerjakan saat terjadi gerhana matahari dihukumi sunah ataukah wajib? Ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat gerhana matahari adalah sunah mu’akad (sunah yang sangat dikukuhkan). Namun menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana matahari dihukumi wajib. Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana matahari dengan shalat Jumat. Kalau kita mau meneliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan ternyata ulama yang menilai wajib shalat gerhana menggunakan dalil yang kuat juga. Mereka berargumen bahwa dalam redaksi hadits yang menjadi dasar pelaksanaan shalat gerhana menggunakan fiil amar, yang sesuai kaidah ushul fiqh “kemutlakan perintah itu memberi konsekuensi hukum wajib”. 

Jadi atas dasar ini shalat gerhana dihukumi wajib. Adapun mengenai shalat gerhana bulan, ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya. Pendapat pertama menyatakan bahwa shalat gerhana bulan adalah sunah mu’akad sama dengan shalat gerhana matahari (bagi mereka yang menganggap hukum shalat matahari sunah mua’kad), dan dilakukan secara berjamaah. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Syafii, Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Hazm, bahkan ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunah seperti shalat sunah biasa, yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’. Menurut pendapat ini pula, shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjamaah. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Hanifah dan Imam Malik. Di antara pendapat tersebut, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, karena berdasarkan nash hadits di atas Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan shalat gerhana tanpa membedakan apakah itu gerhana bulan ataukah matahari.

Related Tags
Social Share

Post Comment